Jumat, 16 Mei 2014

Bagaimana Berdebat Dengan Para MunafiK


Share on facebooShare on twitteShare on emaiShare on prinMore Sharing Servic

Beberapa kali mungkin kita terjebak dalam debat. Kadang malah terlihat tak berujung. Akhirnya malah terjadi saling tuding, saling hina, bahkan tak jarang kata-kata kasar terlontar. Baru saja, sebelum menuliskan catatan singkat ini, saya membaca tulisan seorang saudara di akun twitternya.
Darinya, ada beberapa hal yang perlu disampaikan di sini terkait sikap seorang da’i dalam menghadapi orang-orang munafiq. Allah berfirman,
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS al A’raaf 199)
Mengomentari ayat ini, Sayyid Quthb, dalam Zhilal, berkata, ” Inilah arahan-arahan rabbaniyah di dalam menghadapi kejahiliyahan yang sangat buruk, di dalam menghadapi kemanusiaan yang tersesat. Arahan rabbani menyeru da’i untuk berlapang dada dan toleran. Juga supaya menyampaikan perintah dengan jelas untuk melakukankebaikan yang sudah dikenal oleh fitrah manusia dengan lapang dengan tidak mempersulit dan tidak memperberat. Juga supaya ia berpaling dari tindak kejahiliyahan, dengan tidak menjatuhkan hukuman pada mereka, tidak mengajaknya/melayaninya berdebat, dan tidak ikut bersama-sama mereka”, ujarnya.
Apabila mereka melampaui batas dan menimbulkan kebencian dengan keras kepala dan menghalang-halangi, dan setan mengembuskan kebencian itu, maka hendaklah seorang da’i memohon perlindungan pada Allah agar hatinya tenang, tenteram, dan bersabar.
Sementara itu, Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, berkata, Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan dia menceritakan sebuah kisah mengenai Umar ketika salah satu tamunya membuatnya marah. Maka al Hur bin Qais berkata padanya, “Yaa amiral mu’minin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman pada nabi, ‘Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah dengan ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh’.”
Ibnu Jarir berkata bahwa sesungguhnya nabi telah memerintahkan agar dia menyuruh pada yang ma’ruf pada hamba-hambanya. Termasuk dalam yang ma’ruf itu adalah segala ketaatan, dan menyuruh berpaling dari orang-orang yang bodoh…
Mari tetap bersikap dingin menghadapi orang-orang munafiq. Sebab, Allah berkata bahwa memang seperti itulah tabiat mereka. Mereka akan tetap bersikap seperti itu hingga mereka mau mengubah apa yang ada dalam dirinya, yang kemudian berakibat pada turun tangannya Allah dalam mengubah hatinya, dalam mengubah sikapnya.
“Dan jika dikatakan pada mereka, “Marilah (kembali) pada apa yang diturunkan oleh Allah dan kepada rasulnya.” kamu pasti akan melihat orang2 munafiq itu menghalang2i kamu dengan keras”. (QS an Nisaa’ 61)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada dalam qaum itu, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka”. (QS ar Ra’d 13)
Menghadapi mereka, Allah memerintahkan kita untuk memberikan “qaulan baliigha” pada mereka.
“Mereka itu adalah orang2 yang Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Krn itu, berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah pada diri mereka qaulan baliigha (perkataan yang membekas)”. (QS an Nisaa’ 63)
Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan qaulan baliigha itu? Untuk lebih mudahnya, mari kita simak nasihat Syaikh Utsaimin berikut ini. Beliau, dalam ash Shohwatul Islamiyyah, berkata bahwa bashirah, khususnya dalam da’wah itu ada tiga: pertama, bashirah ‘alaa ilmi. Kedua, bashirah ‘alaa mad’u. Ketiga, bashirah ‘alaa da’wah.
Yang pertama, bashirah ‘alaa ilmi. Pengetahuan atau penguasaan atas ilmu. Yang ini jelas merupakan syarat da’wah pertama. Tidak perlu saya jelaskan lagi lebih jauh. Sebab apa lagi yang akan dijelaskan oleh seorang da’i selain ilmu mengenai Islam? Bukankah mereka yang tak memiliki sesuatu tak dapat memberikan sesuatu?
Mengenai hal ini, Syaikh Utsaimin berkata, Sebagian orang menghukumi sebagian perkara yang bukan merupakan kewajiban sebagai perkara yang wajib; dibangun dengan ijtihad yang keliru, ta’wil, dan syubhat yang tiada dasarnya. Apalagi menjadikan hal tersebut sebagai tolok ukur wala’ dan bara’! Apabila ia menjumpai seseorang yang berbeda pendapat dengannya, ia benci dan marah dengannya. Padahal pendapatnya sendiri telah menyelisihi al Kitab dan as Sunnah. Namun, apabila pendapat seseorang sesuai dengan pendapatnya, ia pun mencintainya.
Kedua, bashirah ‘alaa mad’u. Pengetahuan atas objek da’wah. Hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk berda’wah di Yaman. Saat itu, beliau bersabda, Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum ahli kitab. (Muttafaqun ‘alaih)
Kata-kata ini tentu bukan tanpa maksud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan kita mengetahui objek da’wah sebelum berda’wah padanya. Kita patut mengetahui tingkat ilmunya, kemampuannya dalam diskusi maupun debat, dan sebagainya, supaya kita kemudian mampu mengambil hatinya dan mengajaknya pada Islam. Asy Syaikh kemudian mengutip sebuah hadis berikut, Sesungguhnya kalian akan saling mengalahkan di hadapanku, dan sebagian kalian lebih cerdas dalam mengemukakan pendapat daripada sebagian yang lain. Maka aku memutuskan perkara berdasarkan apa yang kudengar. Barangsiapa yang mengajukan perkara demi mengambil hak saudaranya, janganlah diambil. Sesungguhnya barangsiapa yang berhenti dari hal itu, terputuslah api neraka baginya. (Muttafaqun ‘alaih)
Ketiga, bashirah ‘alaa da’wah. Pengetahuan atas da’wah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami diperintah supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akal mereka masing-masing”. (HR. Muslim).
Ini penting, sebab tidak semua manusia memiliki standar yang sama dalam menilai perkataan orang lain. Bisa jadi, karena kita membaca al Quran dan mendapati nabi Ibrahim yang merupakan khalilullah itu sampai menyebut ummatnya sesat dengan perkataan yang jelas itu (QS 21:54), lantas kita berbuat hal yang sama.
Perlu kita perhatikan kultur masyarakat yang berkembang. Jelas berbeda kultur masyarakat nabi Ibrahim dengan kultur masyarakat kita, meski model ma’shiyatnya sama saja. Sama-sama kesyirikan yang jadi masalah. Jelas berbeda kultur masyarakat Arab zaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan budaya masyarakat Indonesia saat ini. Dahulu, ada sebuah qabilah yang nyaman saja disebut “bani kalb”. Tapi tentu itu tak tepat bila sebutan itu disematkan—dengan alasan apa pun—pada penduduk Indonesia. Dahulu ada sahabat yang lazim dipanggil Abu Hurairah. Tak pas pula rasanya bila panggilan ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kemudian kita sematkan pada tetangga kita yang menyukai kucing.
Untuk itu, Rasul kemudian memerintahkan kita untuk berbicara—dalam rangka berda’wah, tentu—menurut kadar akal objek da’wah. Semata supaya pesan da’wah ini tak tertinggal. Supaya maksud besarnya tak terpotong.
Ada sebuah kekhawatiran dari dalam diri saya melihat da’i yang mengabaikan rambu-rambu ini: akan ada perdebatan-perdebatan tak berkualitas yang secara perlahan tapi pasti akan menurunkan izzah para da’i di mata mad’unya. Akibatnya, belum satu kalimat terlontar dari lisan kita, keengganan mereka sudah muncul terlebih dahulu. Jadilah niat kita untuk berda’wah tak terlaksana.
Syariat ini perlu disampaikan. Salah satu wasilahnya adalah dengan cara beradu argumen (QS 16:125). Berdebat, dengan kata lain. Di sisi lain, kita mudah menjumpai ayat maupun hadis yang berisi anjuran untuk meninggalkan debat. Apalagi bila debat itu mempertanyakan hukum atau syariat Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai pada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah kebesaran mereka sekali-sekali tidak akan mencapainya. Maka mintalah perlindungan pada Allah. Sesungguhnya Ia maha mendengar lagi maha melihat. (QS al Mu’min 56)
Namun, sekali lagi, penguasaan kita terhadap medan da’wah diuji di sini, di mana kita harus menempatkan diri kita di posisi pertengahan. Lembut dalam berda’wah memang dianjurkan. Tapi jelas tidak untuk setiap saat dan tempat. Serupa debat Ibrahim ‘alaihissalam muda dengan Namrudz. Atau seperti argumen-argumen Musa ‘alaihissalam di hadapan Fir’aun.
Janganlah kamu mengikuti orang2 yang mendustakan ayat2 Allah. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (juga) padamu”. (QS al Qalam 8-9
)

Senin, 12 Mei 2014

Tujuh Lapisan Bumi

  Ketika para ilmuwan mulai meneliti lembah-lembah di bumi untuk mengenal struktur dan unsur-unsurnya, mereka menemukan mitos dan dongeng yang mendominasi abad-abad terakhir itu tidak memiliki dasar ilmiah. Setelah para ilmuwan menemukan bahwa bumi berbentuk bulat telur, maka mereka menduga bahwa inti bola bumi ini mempunyai suatu nukleus, dan cangkangnya adalah kerak bumi yang sangat tipis jika dibandingkan dengan ukuran bumi. Dan antara dua lapisan ini ada lapisan ketiga yang biasa disebut dengan kata mantel. Ini merupakan pengetahuan awal para ilmuwan.
Perkembangan Fakta-fakta Ilmiah
Teori Tiga Lapisan ini tidak cukup lama bertahan karena penemuan-penemuan yang terbaru di sistem geologi. Pengukuran-Pengukuran dan percobaan-percobaan terbaru menunjukkan bahwa Artikel yang berisi nukleus dari bumi itu berada di bawah tekanan yang sangat tinggi, tiga juta kali lebih dari permukaan bumi.
Di bawah tekanan seperti itu, zat berubah bentuk menjadi solid, dan hal ini pada gilirannya membuat inti bumi itu sangat solid. Inti bumi ini dikelilingi suatu lapisan zat cair dengan suhu yang sangat tinggi. Ini berarti bahwa ada dua lapisan di dalam inti bumi, bukan satu. Satu lapisan di dalam pusat yang dikelilingi lapisan zat cair.
Hal itu diketahui sesudah alat-alat pengukur dikembangkan dan memberi para ilmuwan suatu perbedaan yang jelas antar lapisan-lapisan bumi bagian dalam. Jika kita turun ke bawah bumi yang keras, kita akan menemukan lapisan batu-batu yang sangat panas, yaitu batu yang berfungsi untuk membungkus. Setelah itu ada tiga lapisan terpisah, di mana masing-masing itu berbeda kepadatan, tekanan dan suhu yang berbeda-beda.
Oleh karena itu para ilmuwan mengklasifikasi lapisan-lapisan bumi menjadi tujuh lapisan, tidak lebih.Gambar menunjukkan lapisan-lapisan ini dengan dimensi masing (beberapa di luar skala), sesuai yang ditemukan para ilmuwan baru-baru ini dengan berbagai metode seperti menggunakan alat pengukur gempa bumi dan studi medan magnetik bumi, dan juga teknik-teknik yang lain. Berbagai studi dan penemuan tersebut saat ini diajarkan kepada para mahasiswa fisika di berbagai universitas.
Gambar ini menunjukkan tujuh lapisan Bumi, memberitahukan bahwa kerak bumi adalah lapisan sangat tipis yang disusul dengan mantel dengan berbeda-beda ketebalannya, lalu disusul lapisan-lapsan yang terdiri zat cair, dan diakhiri dengan yang lapisan ketujuh, yaitu nukleus padat.
Para ilmuwan juga menemukan bahwa atom terdiri dari tujuh lapisan atau tingkatan, dan hal ini membuktikan keseragaman ciptaan, di mana bumi mempunyai tujuh lapisan dan atom-atom mempunyai tujuh lapisan juga. Subhanallah.
Tujuh lapisan bumi itu sangat berbeda-beda dari segi struktur, kepadatan, suhu dan bahannya. Oleh karena itu, tidak seorang pun menganggap bumi itu hanya mempunyai satu lapisan sebagai orang di masa lampau berpikir. Di sini kita menemukan bahwa pemikiran bahwa bumi mempunyai lapisan-lapisan merupakan berkara baru dan tidak dikenal atau yang dikemukakan pada waktu al-Qur’an itu sedang diturunkan. Penemuan-penemuan ini dikemukakan para ilmuwan abad 21 kepada kita, tetapi sejak dahulu Kitab Allah telah memberitahu kita tentang hal tersebut.
Informasi di dalam al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an al-Karim, perkataan Tuhan, menuturkan kepada kita tentang tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi di dalam dua ayat berikut:
‘Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?’ (al-Mulk: 3)
Allah juga berfirman, ‘Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.’ (ath-Thalaq: 12)
Ayat pertama bericara kepada kedua tentang dua sifat langit: bilangan langit itu, yaitu tujuh, dan bentuk langit, yaitu berlapis-lapis. Inilah arti kata thibaqan yang kita temukan di dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an dan kamus-kamus bahasa Arab. Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa bumi itu menyerupai langit, dan hal itu diungkapkan dengan kalimat, ‘Dan seperti itu pula bumi.’ Sebagaimana langit itu berlapis-lapis, maka begitu pula bumi, dan masing-masing jumlahnya tujuh lapisan.
Informasi dalam Sunnah
Seandainya kita meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, maka kita menemukan sebuah hadits yang menegaskan keberadaan tujuh lapis bumi, maksudnya tujuh lapis yang sebagiannya membungkus sebagian yang lain. Nabi saw bersabda, ‘Barangsiapa yang menyerobot sejengkal tanah, maka Allah akan menimbunnya dengan tujuh lapis bumi.’ (HR Bukhari) Kata menimbun di sini diungkapkan dengan kata thawwaqa yang secara bahasa berarti meliputinya dari semua sisi.
Pertanyaannya di sini adalah: Bukankah hal ini merupakan mukjizat Nabawi yang besar? Bukankah hadits yang mulia ini telah menentukan bilangan lapisan bumi, yaitu tujuh, dan menentukan bentuk lapisan itu, yaitu meliputi dan menyelubungi. Bahkan hadits ini memuat sinyal tentang bentuk bulat atau semi-bulat. Al-Qur’an dan Sunnah telah mendahului ilmu pengetahuan modern dalam mengungkapkan fakta yang ilmiah ini. Selain itu, al-Qur’an juga telah memberi kita penelasan yang tepat mengenai struktur bumi dengan menggunakan kata thibaqan

10 Ribu Rupiah Membuat Anda Mengerti Cara Bersyukur


kisah inpirasi Ada seorang sahabat menuturkan kisahnya. Dia bernama Budiman. Sore itu ia menemani istri dan seorang putrinya berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan di sebuah toko swalayan. Usai membayar, tangan-tangan mereka sarat dengan tas plastik belanjaan.
Baru saja mereka keluar dari toko swalayan, istri Budiman dihampiri seorang wanita pengemis yang saat itu bersama seorang putri kecilnya. Wanita pengemis itu berkata kepada istri Budiman, "Beri kami sedekah, Bu!"

Istri Budiman kemudian membuka dompetnya lalu ia menyodorkan selembar uang kertas berjumlah 1000 rupiah. Wanita pengemis itu lalu menerimanya. Tatkala tahu jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan, ia lalu menguncupkan jari-jarinya mengarah ke mulutnya. Kemudian pengemis itu memegang kepala anaknya dan sekali lagi ia mengarahkan jari-jari yang terkuncup itu ke mulutnya, seolah ia ingin berkata, "Aku dan anakku ini sudah berhari-hari tidak makan, tolong beri kami
tambahan sedekah untuk bisa membeli makanan!"

Mendapati isyarat pengemis wanita itu, istri Budiman pun membalas isyarat dengan gerak tangannya seolah berkata, "Tidak... tidak, aku tidak akan menambahkan sedekah untukmu!"
Ironisnya meski tidak menambahkan sedekahnya, istri dan putrinya Budiman malah menuju ke sebuah gerobak gorengan untuk membeli cemilan. Pada kesempatan yang sama Budiman berjalan ke arah ATM center guna mengecek saldo rekeningnya. Saat itu memang tanggal gajian, karenanya Budiman ingin mengecek saldo rekening dia.
Di depan ATM, Ia masukkan kartu ke dalam mesin. Ia tekan langsung tombol INFORMASI SALDO. Sesaat kemudian muncul beberapa digit angka yang membuat Budiman menyunggingkan senyum kecil dari mulutnya. Ya, uang gajiannya sudah masuk ke dalam rekening.
Budiman menarik sejumlah uang dalam bilangan jutaan rupiah dari ATM. Pecahan ratusan ribu berwarna merah kini sudah menyesaki dompetnya. Lalu ada satu lembar uang berwarna merah juga, namun kali ini bernilai 10 ribu yang ia tarik dari dompet. Uang itu Kemudian ia lipat kecil untuk berbagi dengan wanita pengemis yang tadi meminta tambahan sedekah.

Saat sang wanita pengemis melihat nilai uang yang diterima, betapa girangnya dia. Ia pun berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Budiman dengan kalimat-kalimat penuh kesungguhan: "Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah... Terima kasih tuan! Semoga Allah memberikan rezeki berlipat untuk tuan dan keluarga. Semoga Allah memberi kebahagiaan lahir dan batin untuk tuan dan keluarga. Diberikan karunia keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Rumah tangga harmonis dan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Semoga tuan dan keluarga juga diberi kedudukan yang terhormat kelak nanti di surga...!"

Budiman tidak menyangka ia akan mendengar respon yang begitu mengharukan. Budiman mengira bahwa pengemis tadi hanya akan berucap terima kasih saja. Namun, apa yang diucapkan oleh wanita pengemis tadi sungguh membuat Budiman terpukau dan membisu. Apalagi tatkala sekali lagi ia dengar wanita itu berkata kepada putri kecilnya, "Dik, Alhamdulillah akhirnya kita bisa makan juga....!"
Deggg...!!! Hati Budiman tergedor dengan begitu kencang. Rupanya wanita tadi sungguh berharap tambahan sedekah agar ia dan putrinya bisa makan. Sejurus kemudian mata Budiman membuntuti kepergian mereka berdua yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah warung tegal untuk makan di sana.

Budiman masih terdiam dan terpana di tempat itu. Hingga istri dan putrinya kembali lagi dan keduanya menyapa Budiman. Mata Budiman kini mulai berkaca-kaca dan istrinya pun mengetahui itu. "Ada apa Pak?" Istrinya bertanya.

Dengan suara yang agak berat dan terbata Budiman menjelaskan: "Aku baru saja menambahkan sedekah kepada wanita tadi sebanyak 10 ribu rupiah!"

Awalnya istri Budiman hampir tidak setuju tatkala Budiman mengatakan bahwa ia memberi tambahan sedekah kepada wanita pengemis. Namun Budiman kemudian melanjutkan kalimatnya:
"Bu..., aku memberi sedekah kepadanya sebanyak itu. Saat menerimanya, ia berucap hamdalah berkali-kali seraya bersyukur kepada Allah. Tidak itu saja, ia mendoakan aku, mendoakan dirimu, anak-anak dan keluarga kita. Panjaaaang sekali ia berdoa!

Dia hanya menerima karunia dari Allah Swt sebesar 10 ribu saja sudah sedemikian hebatnya bersyukur. Padahal aku sebelumnya melihat di ATM saat aku mengecek saldo dan ternyata di sana ada jumlah yang mungkin ratusan bahkan ribuan kali lipat dari 10 ribu rupiah. Saat melihat saldo itu, aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku terlupa bersyukur, dan aku lupa berucap hamdalah.

Bu..., aku malu kepada Allah! Dia terima hanya 10 ribu begitu bersyukurnya dia kepada Allah dan berterimakasih kepadaku. Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga Allah, apakah dia yang menerima 10 ribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah aku yang menerima jumlah lebih banyak dari itu namun sedikitpun aku tak berucap hamdalah."

Budiman mengakhiri kalimatnya dengan suara yang terbata-bata dan beberapa bulir air mata yang menetes. Istrinya pun menjadi lemas setelah menyadari betapa selama ini kurang bersyukur sebagai hamba. Ya Allah, ampunilah kami para hamba-Mu yang kerap lalai atas segala nikmat-Mu